Rumah Kardus, Juara 1 di UNNES

Rumah Kardus cerita pendek karya Eka Wingsati, salah satu siswi SMA Negeri 5 Purworejo. Berhasil menjadi juara pertama lomba cerpen di Universitas Negeri Semarang.


                Detik jam dinding semakin cepat berdetik, membuatku gugup menyiapkan semua file-file bernilai lebih dari tiga triliun rupiah, entah apa yang akan terjadi jika semuannya tidak berjalan seperti rencanaku. Bukan hanya aku yang akan merasakan kegagalan namun seratus lima puluh ribu karyawan dan orang-orang di bantaran sana juga akan ikut menanggung  akibatnya.
                “Ibu, doa kan Arwan, mereka tidak bersalah bu, mereka hanya mencoba mempertahankan hidup mereka yang sangat seadanya di istana kardus mereka, itu saja, jangan biarkan tunas-tunas penuh mimpi untuk bangsa itu mati Tuhan, aku mohon” Semua potret hidupku 15 tahun lalu mulai putar lagi, masih remang-remang buram, seburam kampungku dulu. Dan aku sudah ada dalam ingatanku sendiri.
                Pagi, siang dan senja tak ada bedanya di rumahku dulu, tetap kumuh, tetap kotor dan  tak jauh-jauh dari udara pengap dan sesak-mendesak rumah-rumah kardus tak berjendela, hanya ada pintu-pintu kecil di bagian depannya. Di bantaran sungai sampah itulah aku lahir dan tumbuh sebagai anak usang nan lecek yang tumbuh kembangnya diiringi riuh rendah nyanyian kendaraan yang melewati beton atap rumah kami, karena memang rumahku ada di bawah jembatan.
“Setidaknya kamu masih punya tempat untuk tidur le, masih ada tempat pulang, itu sudah lebih dari cukup to?, ndak usah muluk-muluk mau sekolah segala ”kata ibu malam itu saat aku meminta izin untuk sekolah di SMP dekat stasiun kota, ibu hanya menjawab seperti itu, dengan nada medok Jawanya, masih sangat aku ingat, kata-kata itulah rintangan pertama yang mampu aku patahkan hingga aku bisa seperti saat ini.
“Ndak bu, Arwan ndak mau bodoh kaya mas Karto dan mbak Sarti” Aku ingat, aku tetap ngotot ingin bersekolah, aku hanya sedikit lebih paham tentang arti pendidikan di bandingkan dengan ibu dan kedua kakakku yang akhirnya bernasib kurang baik, mas Karto terpaksa mendekap di penjara karena menjadi kambing hitam orang berduit yag mengelak dari hukum, sedang mbak Sarti jadi korban agen TKW ilegal sehingga ia cacat sekarang.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang mengingat semua kejadian hitam-putih itu. Siapa sangka anak yatim piatu berkakak cacat bisa duduk di kursi Direktur Utama perusahaan koran yang dulu ia jajakan untuk hanya sekedar membeli makan.
Kembali aku hanyut dalam lamunanku, memutar balik kejadian yang sedikit demi sedikit mulai jelas. Kejadian saat aku harus kehilangan ibu. Merah, kuning, hijau, tiba-tiba silau.Waktu itu suatu malam saat aku sedang menjajakan koran-koranku, aku seorang pedagang koran saat itu, mencari rupiah demi rupiah untuk satu tujuan, ilmu dan perubahan bangsaku, tiba-tiba..
                “Wan..! Wan..!!” Ucapnya terbata-bata kekurangan nafas setelah berlari-lari mendekatiku.
                “Ada apa wak?” Jawabku padanya, dia tetangga sebelah rumah kardusku, orang-orang biasa memanggilnya wak Lihan, begitupun aku, aku memanggilnya wak Lihan. Wak Lihan memang tetangga yang baik, ia dan istrinya kadang-kadang memberi ibu ikan asin atau krupuk.
                “Anu.. anu.. itu anu, ibumu..” wak Lihan masih mengumpulkan nafas untuk menjelaskan.
                “Ibu kenapa wak?!!” aku mulai panik.
Setelah berlari terburu-buru melewati lika-liku gang-gang sempit penuh genangan air tibalah aku di depan rumah,di tanah becek itu aku lihat bendera kuning dengan enaknya menancap dalam-dalam, saat itu pula bendera kuning itu menacap jauh lebih dalam pula di hatiku. Sakit dan perih entah apa namanya saat aku mulai melangkah mendekati rumah setelah beberapa detik  terpaku pada warna kuning di depan rumah. Orang-orang memberiku jalan, dengan tatapan iba, tatapan menjatuhkan mereka memberiku jalan menuju kedihan yang menesir-desir semakin kuat saat aku melihat tubuh penuh darah yang terbaring kaku di sana. Ia ibu, ibuku malang tewas tersambar kereta api tak berpalang pintu saat hendak menyebrang. Begitulah negeriku bukan hanya aku yang kehilangan orang yang tercinta, tapi banyak yang lainnya yang juga harus kehilangan orang tercinta di rel kereta akibat kurangnya kepedulian mereka yang di gedung sana. Semenjak saat itu aku tinggal hanya dengan kakak perempuanku,mbak Sarti. Menggantikan peran ibu tidaklah segampang pikiranku, memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat mbak Sarti, dan masih harus mencari uang untuk hidup kami berdua. Di usiaku yang masih empat belas tahun aku harus memerankan tiga posisi untuk mbak Sarti, sebagai ibu, ayah, serta adik.Sungguh beban yang berat, namun tetap akan aku jalani.
Tak terasa air mataku berlinang mengenang saat ibu pergi meninggalkanku, aku rindu ibu, sangat rindu, amat sangat rindu peluk menenangkan ibu, teringat saat itu impianku untuk melanjutkan sekolah pupus bersama dengan semakin beratnya beban hidup kami.
Kualihkan pandangan sejenak untuk menenangkan hati yang rindu ibu, dari lantai 24 ini aku bisa melihat seluruh kota, mulai dari area sosialis berdasi hingga rumah-rumah kardus punya kami dulu. Namun ingatan hitam putih itu tak mau berhenti begitu saja, memulai lagi kisah-kisah pedihnya. Suatu hari saat aku sudah mulai rajin memangkas tunas-tunas harapan tentang ilmu dan perubahan, pendidikan, angan-anganku tentang perubahan terhenti setalah aku lulus SMA, dan menganggap semua sudah berakhir, aku hanya akan jadi seorang penjual koran seumur hidupku, namun ternyata harapan itu muncul lagi.
Harapan itu ada di sebuah koran yang aku jual, tidak sengaja aku membaca saat aku berteduh di bawah bayangan lampu lalu lintas di siang yang amat terik, di sana tertera sebuah iklan tentang beasiswa untuk Universitas Indonesia, dengan susah payah aku mengikuti tes-tesnya, mencoba mencari keberuntungan tidak terduga. Ribuan orang yang juga mengikuti tes. Aku dilarang mengikuti tes-tes pada mulanya meskipun akhirnya aku di izinkan mengikuti tes, mereka menganggap aku hanya main-main, mereka tak paham betapa diri ini haus ilmu dan perubahan. Semua orang hanya memandang dari penampilan saja bukan dari kemauan dan kemampuan.
Emosi sesaat itu membuyarkan lamunanku tentang potret hitam putih buram hidup 15 tahun lalu, pelan-pelan terpencet tombol ’play’ lagi, terputar lagi, dan seakan-akan ada di waktu itu lagi, merasakan tegangnya, merasakan ketidakadilannya, merasakan cacian orang-orang yang menatap penuh ketidakpercayaan pada kemampuaku, namun aku tetap berdiri penuh cita untuk bangsa, melumuri seluruh anggota tubuhku dengan filosofis hidup ibu yang bahkan sampai sekarang masih aku pegang sebagai pedoman. Filosofis bijak wanita tua tak berpendidikan yang layak para pejabat renungkan ’Tuhanlah sebaik-baiknya yang Maha mengetahui apa-apa kemarin, hari ini, lusa dan seribu tahun lagi’. Lamunanku semakin nyata memutar kembali setiap rangkaian kejadian yang sudah menjadikan pondasi kuat hidup seorang Arwan. Buyar begitu saja saat seorang pegawaiku mengetok pintu ruanganku.
“Permisi pak, 45 menit lagi meeting di mulai” Ucapnya,ia Dini. Sekretarisku, dia tidak ikut pertemuan memang, tidak ingin membebaniku begitulah alasannya.
“Oh, iya Din, terimakasih”  Tanyaku masih dengan raut muka cemas yang sedari tadi aku pasang.
 “Bramtyo ada di ruangannya sekarang?” Tanyaku datar
“Ada pak” Jawabnya lebih singkat
“Tolong panggilkan sebentar” Perintahku sambil berlalu
“Baik pak” Dini juga berlalu dengan muka yang semakin tegang
Kemudian aku melayang lagi ke dunia hitam putih yang kini mulai terlihat jelas, satu dua tiga kejadian silih berganti terputar sebentar, buyar, terputar lagi, buyar lagi, semakin menjadi.
Saat itu hujan deras disertai angin kencang, hari itu tes keduaku untuk beasiswa ‘Pelita Harapan’. Saat itu aku bingung harus mengutamakan tes ataukah mengutamakan kakakku tercinta di rumah. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mempertaruhkan risiko yang akan aku ambil dengan meninggalkan kakakku.
“Maaf pak Arwan, bapak memanggil saya?” Suara seseorang di belakangku membuyarkan lamunan.
“Bram, iya, silahkan duduk” Aku mempersilahkannya duduk
“Terima kasih, ada yang bisa saya bantu pak?”
“Begini Bram, saya mau kamu potret wilayah sengketa saat ini, terutama di daerah bantaran sungai sebelah barat, di situ ada sebuah rumah kardus yang mungkin sekarang sudah tidak berdiri tegak, rumah itu tepat berada di bawah jembatan, tolong cetak hari ini juga, saya hanya punya waktu 15 menit lagi untuk melihat foto itu” Aku memberi penjelasan pada Bram, juru kamera terpercayaku.
“Lima belas menit pak?” Dia bertanya untuk menyakinkan bahwa ia tidak salah dengar
“Iya, tolong ya?” Pintaku penuh harap
“Baik pak, saya usahakan. Permisi pak” Sambungnya
Kemudian Bram berlari kecil meninggalkan kursi, sebelum dia meraih gagang pintu.
“Bram, foto itu akan menyelamatkan banyak nyawa, mungkin” Tandasku
 “Ya Tuhan, sebentar lagi akan ada banyak anak negeri yang akan kehilangan tempat tinggal dan harapan masa depan karena aku jika aku tak mampu menjelaskan pada China-China itu bahwa di sana, di bantaran kali itu, ada banyak janji-janji masa depan bangsaku, janji-janji masa depan bangsa besar yang masih tertidur pulas ini” Aku bergumam sendiri sambil menggit bibir miris membayangkan nasib Arwan-Arwan lain di sana yang tidak harus bernasib sama sepertiku, yang harus bersusah payah demi pendidikan.Waktu itu..
“Mbak tunggu di sini ya? Arwan ndak akan lama kok” Pesanku pada kakak perempuanku yang cacat di ruang tunggu Universitas Indonesia saat aku mejalani tes.
“Ih. kakaknya aja cacat, mana mungkin adiknya bisa dapat beasiswa” Salah seorang panitia seleksi menghardik mbak Sarti,akhirnya mbak Sarti ku ajak masuk ruang wawancara .
“Arwan Harun?” Tanya seorang pewawancara
“Saya pak, maaf saya membawa masuk seseorang pak, jika di izinkan bolehkah dia di sini?” Pintaku “Siapa dia?” Tanya pewawancara yang lain
“Dia kakak saya, saya menjamin sepenuhnya dia tidak akan mengganggu wawancara kita, dia bisu, tuli, serta cacat pak” Jelasku
“Tapi peraturannya berbunyi bahwa peserta tidak di izinkan untuk membawa pendamping atau apapun yang bersangkutan, kamu paham kan artinya?”
“Saya paham, tapi dia tidak akan mengganggu, dia juga tidak paham kita sedang wawancara” Kataku sambil melihat ke arah mbak Sarti
“Maaf, kami tidak bisa melanjutkan wawancara ini, silahkan keluar” Salah seorang pewawancara berkata dengan tegas
“Baik, terima kasih, selamat siang” Jawabku pendek, aku tidak akan pernah membiarkan siapapun merendahkan kakakku, dia memang cacat, namun hatinya jauh lebih normal dari mereka yang menghardiknya.
“Tunggu, saya beri satu kali lagi kesempatan, kita lanjutkan wawancara kita, dengan syarat tinggalkan kakakmu di luar ruangan, bagaimana nak?” Tanyanya sesaat sebelum aku bangkit dari kursi.
“Terima kasih, tidak pak, saya lebih baik tidak mendapat beasiswa ini jika kakak saya harus di luar, mendapat caci maki, saya akan bersamanya untuk mendapatkan caci makian bersama-sama” Tandasku sekali lagi.
“Kenapa?”
“Dia bagian dari diri saya, kami memang penghuni rumah kardus, tapi kami manusia berharga diri pak, maaf lancang”
“Kau dapatkan beasiswanya nak” Ucap salah seorag pewawancara sambil tersenyum pada kami berdua
Tuhan memang tidak pernah tidur, aku lulus seleksi tanpa tes wawancara. Setelah aku lulus UI dengan predikat terbaik, aku lanjutkan bersekolah di Jepang dengan beasiswa yang kudapat dari Universitas ku terdahulu, aku titipkan mbak Sarti pada salah satu Lembaga Masyarakat yang berjanji akan mengurusnya dengan baik, kupercayakan mbak Sarti di sana, dan jadilah aku sekarang ini. Perjalanan panjang berliku-liku untuk ilmu dan semua perubahan bangsaku kelak.
                “Maaf pak, tuan Lie sudah di ruang rapat menunggu Bapak” Dini lagi-lagi membuyarkan lamunanku
                “Iya” Segera ku raih tumpukan file dan flashdisk berisikan data presentasi, jantungku seakan berpacu dengan detik, semakin berdebar.
                Aku berjalan pelan menuju ruang rapat, menghayati setiap langkahku di lantai gedung ini, mungkin esok atau lusa aku tidak akan pernah lagi bisa berdiri tegak di lantai ini lagi. Sesampainya di ruang rapat, setelah menyalami tuan Lie dan rekan-rekannya yang juga berwajah Chinese itu, kumulai presentasi maut itu.
                “Demikian presentasi saya, ini lah semua dana yang berani saya gelontorkan untuk daerah itu”  Ucapku setelah berpresentasi memperebutkan tanah rumah kardus.
                “ Bukan seperti yang kami harapkan,  sebagian besar tidak berkonsep” Sanggahnya.
                Ku mulai lagi presentasi rencana B, dengan dana yang lebih besar, dengan semua pembaharuan di semua hal demi persetujuan Tuan  Lie.
                “ Bagaimana dengan ini, adakah anda masih tidak setuju?” Tanyaku setelah berpresentasi
                “ Semua hal di presentasi anda barusan itu berlebihan,tidak mengutamakan realitas” Tuan Lie masih menolak.
                “ Sudahlah saya tidak punya waktu banyak, tanah itu sudah di takdirkan untuk di di dirikan pusat perbelanjaan” Akhirnya Tuan Lie mulai memutuskan.
                Setelah hampir 4 jam perseteruan di ruang ini dan berbulan-bulan Tuan Lie teguh pada pendapatnya, aku mulai merasa putus asa dengan perjuanganku ini.
                “Saya harus segeera pergi ke Bangkok Pak Arwan, silahkan tanda tangani surat persetujuan kita” Ucapnya, membuat seluruh asa menguap begitu saja di langit-langit ruangan.
                Beberapa saat sebelum aku menandatangani surat itu, yang artinya aku menyerah, dan sudah tidak akan ada di gedung ini lagi esok hari, saat itulah Bram muncul membawa lima lembar foto rumah-rumah kardus.
                “Rumah-rumah ini memberikan janji-janji masa depan, janji-janji yang dapat dipertanggung jawabkan, ribuan tunas ada di sana Tuan”  Kataku lirih pada tuan Lie yang bingung dan tak mampu menerjemahkan arah pembicaraaanku.
                “Apa maksud Anda?, kita sedang membicarakan dana bukan?” tuan Lie masih tak mengerti.
                “Ini rumah wak Lihan dulu, ia tetangga sebelah rumah kardusku, tetangga baik yang sering memberi ikan asin dan kerupuk pada ibu, entah masih hidup atau tidak” Ucapku sambil memperlihatkan foto pertama yang berhasil Bram ambil dari daerah sengketa kami.
                “Aku lahir dan tumbuh di sana tuan, dengan janji-janji kehidupan yang amat sederhana, begitu pula orang-orang yang tinggal di sana, mereka hidup dengan tujuan yang amat sederhana, kesederhanaan yang  indah” lanjutku membuat orang-orang dalam ruangan itu semakin tak mengerti.
                “Lantas?”, tuan Lie mulai tertarik dengan cerita rumah kardus.
                “Rumah kami dari kardus memang, beratapkan beton jembatan, sering basah saat hujan, tak jarang ambruk diterpa angin. Kami warga negara yang malang, tak terjangkau pembagunan, pendidikan, ataupun kesehatan, namun kami tetap betahan” ucapku lirih
                “ Adakah permerintah menmperhatikan kalian di sana?” Tanya tuan Lie penuh nada tidak terima, Chinese yang sesungguhnya mempunyai jiwa sosial tinggi.
                “ Tidak Tuan, kami terabaikan, tak terjamah, dan kami hidup mandiri” jelasku sambil tersenyum ramah.
                “Inilah kami Tuan,  sebagian orang hidup nyaman di ruangan ber-AC, sebagian lainnya hidup ‘nyaman’ pula di rumah kardus pengap yang sempit, di kota sana jalan raya lebar dan halus tua, di sisi yang lain kami harus berjalan di jalan-jalan sempit bagaikan tikus, di tengah kota sana orang berdasi yang sakit dengan mudah mendapat layanan kesehatan, di dunia lain seperti kami harus bersusah payah untuk sekedar mendapatkan obat demam, harusnya mereka perdulikan rel-rel kereta, perdulikan berapa nyawa melayang di rel tak berpalang itu,bangsa ini butuh perubahan” ucapku semakin lirih.
                “ Bangsaku bangsa yang besar,bangsa yang kaya, namun masih tertidur lelap tak mampu melihat tunas-tunas muda yang bermekaran di tengah-tengah sampah sana, ini foto atap rumah kami Tuan, jembatan beton, ini foto sungai sampah yang kami gunakan untuk kehidupan sehari-hari” kataku sambil menunjukkan foto ke 2 ke 3, 4, 5.
                Setelah cukup lama aku bernostalgia pada dunia rumah kardus kami,kukeluarkan. Sebuah flashdisk berisikan gambar-gambar kota besar yang indah di negara Singapura, kota-kota besih, rapi mencerminkan manusia-manusia berkepribadian yang maju.
                “Tuan, ini salah satu kota besar di Singapura, kota indah yang pernah aku kunjungi beberapa tahun lalu. Foto-foto yang tadi adalah foto potret negeri saat ini dan  lima belas tahun yang lalu, foto yang anda lihat di depan adalah gambaran kota dua puluh tahun yang akan datang  jika Anda izinkan saya membenahi pemukiman kardus itu menjadi lebih baik,dengan sedikit kerja keras dari putra putri bangsa sebagai bentuk pengabdian pada bumi pertiwi. Ucapku sambil mempresentasikan foto-foto kota di Singapura.
                “ Bangsaku saat ini akan jauh lebih baik dua puluh tahun mendatang dengan sedikit kepedulian dari orang seperti Anda dan saya Tuan” Kataku sambil mengembangkan senyum.  Akhirnya aku menangkan sengketa ini, tuan Lie membatalkan penggusuran dengan hati amat lega kujabat erat tangan Tuan Lie sebagai tanda sepakat. Bersabarlah hai tunas-tunas muda rumah kardus, kami di sini memperdulikanmu. Dunia akan menyambut kalian dengan bangga, dengan senyum cerah masa depan untuk Indonesia di luar sana, suatu saat, garuda akan mengembangkan sayapnya.
Tags: ×

0 komentar