Antologi Cerpen Ilalang Jingga

Sore ini, kita dapat kiriman kumpulan puisi dari Arind Reza jurusan Bahasa, lulus tahun 2011. Antologi cerpen ini berjudul: Ilalang Jingga. Arind sekarang kuliah di Universitas Negeri Semarang jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indoneisa. Fbnya: http://www.facebook.com/rezagharini.

Sejak Apa menjadi Siapa
Bahkan tak tahu melarikan diri kemana para burung
Terlalu lelahkah ia hanya mengenal kanan?

PKM BSI
301112

Perempuan Bermandi Matahari
Kapan aku lahir dari hatimu, ibunda bermurah hati?
Bahkan surup matahari belum menguar aroma rumput siangan
Atau padi, meski terlambat disemaikan

Ketika mendadak malam buta menggugah aromamu, aku
lantunkan pula sendiri itu
Bunda, sejauh apa aku dan kami belajar mengeja?
Kesaktian matahari pada pundakmu, sejatinya belum cukup melukis bilur kesungguhan di raut kami
Langkah sempoyong kami, adalah muara peluh-peluh luka seujung jaritmu

Jadilah kami menguliti mata sendiri menjadi
api pembakar sukmamu,Bunda
Dan ia, aku, kami, bukan abu terlayak untuk menebarkan surga dalam senyapmu

Matahari, setia selalu menguar pundakmu
Sebab aku tahu, perempuan itu adalah engkau.

(aku menyebut ini Rindu)
301112

Mantra
: A
Sudah sekian kemungkinan
Kemungkinan sudah sekian
Sudah?
Kemungkinan
Sekian.


PKM BSI
301112

Di Sebuah Festival
Festival sudah sempurna
Orang-orang berebut naik bianglala
Adik kecil merengek di gelayut ibunya
Senyap sekali
Sementara orang-orang naik bianglala
Adik kecil terisak di pangkuan ibunya
Senyap sekali
Festival masih sempurna, pun rotasi bianglala
Adik kecil tertidur sedih di pundak ibunya
Senyap sekali
Sementara festival kian paripurna
: mengapa bukan rumah hantu?

PKM BSI
301112

Ada Rumput di Dahi Ayahku
Ayahku mengeluh dahinya gatal
Sebab rumput merambat penuh separuh dahinya
Ayahku berkeringat sejak tengah malam, sebab
bersih kian surut kadarnya
Pagi hari ia mengeluh gatal
Ibu membalasnya dengan teriakan guling dan bantal
Lalu siang, dahinya masih gatal
Adik menangis, merengek ibu karena mual
Malam merangkak, sementara dahinya terus saja gatal
Aku diam saja, sudah terlalu kenal
Kami semua pegal
Tetap saja, ayah dahinya gatal.
Apakah kami lupa makan rumput bebal?

PKM BSI
301112

Mangkat Episode 2
Aku menekuk ringkuk di halaman ke sekian
Dari sekian-kesekianan yang kesekian
Bantal-bantal ragu pada ranjang kubus batu
Lalu latu di ujung klembak menyanmu
Sudah berdupa-dupa kami mencari wangsit rupanya, namun
tak juga lega nafas terhela telinga
Gemerisik tak tertib, kuping riuh mengintai mengintip
Kemana harus dicari keranda, untuk
sekadar singgah memendam racun lupa?

(memang 2, bukan 1)

301112

Laki-laki yang Tertidur di Sampingku

Diam-diam kuintip mata laki-laki yang tertidur di sampingku
Ada bundaran hitam di antara putih di sana
Lalu jajaran rumput sehitam rambut singa
Ah,bodoh sekali, bukankah itu bola mata?
Ia terlelap dengan dengkur lupa di sampingku
Dengkur pelan tak membangunkan
Bangun pelan tanpa dengkuran
Kulihat lagi mata laki-laki yang tertidur di sampingku
Ia menjadi bola, dan
Aku terlempar ke hutan kunang-kunang hijau tua
Menemukan kyai, ponsel dan besi baja
Aku berteriak dan
Ia menjelma mata pena,dan
Aku terhisap ke ladang kata-kata, premis dan mata-mata
Ia menjelma kabut, dan
Aku terseret menjadi bongkahan kapas,petir dan rumput
Lalu, ia menjelma aku, laki-laki yang tidur di sampingnya
Tanpa dengkur.
Harus kuulang koma itu lagi?
(Z)
301112

Emak, Aku Punya Mata Baru
Emak,
Ini tahun kedua kutasbihkan luka bernama Rindu
Ia berleleran dari mataku ketika mentari tertelan punggung laut itu
Ia berjatuhan dari tanganku, ketika besi menua di balik topeng detik dan suara itu
Aku masih menyanjungmu, Emak
Saat pertama kau sucikan untukku sebuah mata, lantas ia mekar bersama senampan haru, juga untukku
Emak,
Kata orang aku meninggalkan aku
Sebab terlalu tertatih aku mengejar mata darimu
Sebab begitu serak aku menari di titian pesanmu

Emak,
Mereka mengganti mataku
Mengisinya dengan air dan batu-batu
Melukisnya dengar anyir coklat dan aneka Ramu
Emak,
Masih sudikah engkau menakar secawan Rindu?

301112

Ilalang-Jingga
Aku menemukan senja terakhir di peraduan kisah itu
Saat nada, denting dan rasa berpilin dalam genggammu
Sementara ada sesak tanpa akhir kau hela sepanjang waktu
Aku, adalah koyakan masa silam pemungut kenanganmu
Tanpa sadar kau lemas-lepas sepanjang penantian
Kita mengenal tanpa pernah bertemu
Lalu layaknya mata tanpa kelopak, aku mengenalmu lagi dan lagi
Menatapmu selalu dan selalu
Lihat
Lagi
Lihat
Selalu
Adakah engkau dibesarkan kenangan dan sejuta pilu?
Ia lahir disana, di bait mana kau menemukannya,di bait mana kau meninggalkannya
Leburlah ia menjadi puisi bila kau larut pula olehnya
Ia pahit, segetir gigitan lidahmu sendiri,namun tanpa ampun kau menikmati getirnya

Ia koyak segenap harapmu sepanjang waktu, namun akuilah, bukankah kau rela mati beribu kali pula?
ia adalah engkau, aku dan kenangan itu.
Meleburlah, menjadi merah dalam kepahitanmu, lantas lunas itu luka dalam abu tulangku.
Lebur, tanpa hancur dan terbentur
Seperti setia, Ilalang
Dan layaknya percaya, Jingga

301112

Rumah Kami
Hiduplah engkau di rumah kami
Di sana kami lagukan tembang seribu mimpi
Tentang aku, engkau dan juga kami
Kami tuturkan pula seribu cerita
Di sela doa dan perihnya usia menyanggah aku dan saya
Mengapa kau tak singgah di rumah kami?
Ada sepiring keriuhan yang kami tawarkan di dalamnya
Yang tak akan kau temukan di kelamnya malam dan semerbak bebunga
Tahukah kau bahwa ini rumah kami?
Ada serpih gelas di pojok jendela
Juga bekas jelaga di sebelah sana
Kami merindukannya
Kami pun membuangnya
Sejujurnya kami tahu
Ini rumah kami

(aku dan engkau masih kita, bukan?)

Widya Karya
301112

Malam Ini Engkau di Ujung Doa
Tuhan, Engkau tahu aku,bukan?
begitu pula ia,
:dimana kami?
Setapak itu milik-Mu,
Sepenuh rasa aku percaya.

Widya Karya
011212

Ujung Pensil yang Patah
: kakak

Suatu sore kau dan aku bertukar kata
Masih saja sama:
Aku, dia lalu mereka
Sesekali aku tertawa, ketika mata tak selamanya bersuara
Lalu terisak, ketika penat benar rasanya berteriak
Senja berlalu, cukup lunas segala itu.

Sore itu, aku dan mereka bertukar cerita
Ada yang berbeda:
Seketika aku terpaku
Rupanya belum lunas benar ini Rindu.

~kakak, selalu terselip doa,agar disana Selimutmu lebih hangat dari kami, sebab rasa sayang dan rindu kami ada untukmu, seperti selalu…~

02.44
011212

Di Atas Bantal Mereka Berbisik
:untuk Biola

Suatu pagi aku menanyakanmu pada kabarku
Aku menjawab tak ada aku
Aku sedang tertidur
Tidur karena nadamu, biola sunyimu
Mengapa tak kau jawab kau sedang di sini, mencari nada, lantas pergi dan terjaga?

Lalu dimana?

(ada masanya, aku akan merindukan engkau yang Diam dan bersenandung)

011212

Aku Lupa Engkau Ini aku,halaman lama perupa baru
Kala bulan menaksir sinarnya sendiri
Untuk sekadar tersungkur mencaci-maki
Ini engkau,kelopak lama suara ibu
Ketika Desember menyerah pada biru
Bukan hijau atau abu
Apakah aku adalah engkau, ketika Desember terus saja terisak parau?
Apakah aku ibu, jika terus saja kusebut hijau dengan abu?
Menyerah, sesering aku mencarimu adalah batu.

Teras B1 102
021212

Topeng 26
: Suara
Selamat malam, Sayang
Masih kukejar tepi porosmu
Bukan menjari pada alurku sendiri
Bukan
Aku laki-laki.
Engkau terlampau rasuk atas dindingnya, memaksa angin
sejenak diam menghela:
ia buta?
Malam penat, Sayang
Waktu telah sampai pada sendiku
Meremuk darah, menghirup linu
Sumsumku
Urat hijau-biru.
Aku diam di tepi
26 putar menggumul mimpi
Sepi
Aku laki-laki.
(mereka tak pernah tahu, bukan?)

021212

19 Tahun Ia Meluka
Apa harus kukata engkau?
Sembilu bahkan tak cukup tajam menancap rahang tegarmu
Pun, kegersangan mataku:
“Tidak, mereka telah membunuhku.”
Senyum lagi, bukan?
Di luar sana kucari namamu
Lantas kusimpan dalam laciku
Selamat tinggal, Belati.

(dimana Ia, dimana pula Luka)

Taman
021212

Luka-Luka Pipi dan leher itu berlarian dalam kepala
Lalu tumit dan telapaknya
Persahabatan anyir tanpa jeda
Mereka?

(pada suatu batas bukan batas, kita akan berhenti berkata jelas.)

Dimana?
021212

Mengapa Rindu?
Adalah kematian sebenar-benar penantian itu
Bahkan sebelum langit mencerna makna tangis dan seribu haru
Mengapa pula kau dan aku terus bertanya mengapa, sementra apa bukanlah ya atau tidak semata?
Tunggulah waktu menggenapkan detiknya, dan tanpa serupa benar akan kau temukan jarumnya
Mencari?
Tidak, aku pergi, bukan bertanya lagi.
Mengapa?

021212

Sedikit Raga Aku Meragu
: ibu

Kalender itu memusuhiku, Ibu
Lantaran melingkarinya pun aku terlampau segan
Dicercanya aku sepanjang jalan
Sebab aku malas menantinya di seberang jalan
Minggu lalu, angka-angka itu menjemputku, Ibu
Mereka berpakaian putih muda, seperti senyummu
Cepat, direnggutnya lengan patahku, mereka tukar
dengan benda asing coklat tua
Jadilah aku meringkuk di neraka, Ibu
Menjadi penyangganya
Uliran kuat di kepala datarnya
Tak sekejap ia menengadah padaku
Dimana ragaku?
Apakah engkau ibu?

Hari yang Sama
021212

Gerimis
Aku diam menatapmu di kerumunan
Kau jemput kemenangan itu diam-diam
Mereka menunggumu di warung Mbok Inah saat senja
Ada kopi hitam terseduh disana
Tak lupa kububuhkan gula,agar mampu meredam sedikit getir mimpi kita
Gerimis berlari, gelas ketiga sudah kau seduh sejak tadi
Mbok Inah hanya berkaca-kaca
Berharap Pak Bijak masih mengenal siapa gula.

:mereka membunuhku (lagi)!

Pemakaman Diri
021212

0 komentar