HarianJogja.Com - ”Masa orientasi murid baru telah selesai. Betapa kita tahun ini,
bahkan setiap awal tahun, dipercaya untuk mendidik anak-anak yang penuh
bakat. Mereka anak-anak hebat, terbukti pada saat masa orientasi, mereka
belajar mandiri, berani bertanya dengan mutu pertanyaan yang melebihi
daya kritisnya.
Saya bisa bandingkan mereka sekaliber pemain Barca
(klub Barcelona dari Spanyol), maka sudah selayaknya para guru mesti
menghadirkan sebagai Pep Guardiola. “Betapa bakat pemain Barca akan
tersia-sia jika pelatihnya hanya setingkat pelatih lokal,” demikian
ungkapan saya tempo hari ketika memulai karya di awal tahun ajaran,
dalam doa pagi bersama kolega.
Tidaklah berlebihan jika pengalaman
tersebut saya hadirkan dalam tulisan ini. Tidak berlebihan pula jika
setiap guru selalu mensyukuri murid-murid yang dipercayakan kepadanya.
Betapa setiap murid adalah anak-anak yang membawa kehebatannya.
Sekolah-sekolah berlomba-lomba mendapatkan murid, bahkan cenderung
menyeleksi calon murid terbaik, tetapi setelah mendapatkannya justru
anak-anak itu mengalami ”aniaya” batin, lewat cara-cara perlakuan guru
di kelas. Mereka membawa impiannya, misalnya ingin memasuki jurusan ilmu
pengetahuan alam (IPA), tetapi impian itu padam di tangan guru yang
penuh dendam. Jika murid mempunyai potensi di bidang IPA, lantas
terpuruk di jurusan lain, gurulah yang patut mengoreksi kemampuan diri
dalam pembelajaran.
Mengumpulkan murid potensial yang dilakukan
oleh sekolah, tampaknya berhenti sebatas mengumpulkannya saja, sementara
perangkat pemrosesnya diabaikan. Muridnya unggul tetapi gurunya tidak
berkualifikasi unggul, yang terjadi pada guru hanyalah bisa
menggelontorkan ilmu kepada murid. Kecenderungan yang tidak ideal justru
terjadi ketika guru ”memusuhi” murid yang aktivitasnya di kelas kritis.
Murid yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang lebih unggul
cenderung lebih cepat menguasai materi pelajaran yang diberikan oleh
guru, sehingga waktu yang tersisa tidak dimanfaatkan dan terkesan bahwa
anak yang bersangkutan tampak santai.
Lebih dari itu anak-anak
demikian dianggap sebagai sumber penghambat kelancaran pembelajaran di
kelas karena sisa waktunya digunakan untuk mengganggu teman ataupun
berbagai perilaku yang dilakukan untuk memperoleh perhatian dari guru.
Keadaan yang seperti itu menunjukkan bahwa murid yang memiliki kemampuan
dan kecerdasan yang unggul memerlukan penanganan agar berkembang secara
optimal. Jika demikian, para guru mestinya menghadirkan diri sebagai
pribadi yang mempunyai kapasitas yang lebih hebat daripada
murid-muridnya.
Piala Eropa 2012 belum lama berlalu. Salah satu
pemain yang bisa menghadirkan inspirasi bagi para guru adalah pemain
Italia, Mario Balotelli. Ia unik, perpaduan antara aset dan beban,
temperamennya mudah meledak, sering membuat masalah. Namun, bakatnya
yang hebat kerap membuatnya menjadi game winner. Situasi ini
selalu membuat pelatihnya dalam posisi sulit. Prandelli, sang pelatih,
menyadari benar potensi sekaligus risiko keberadaan Balotelli di dalam
tim. Akan tetapi, Prandelli lebih percaya pada potensi, menyadari bahwa
menangani Balotelli adalah tantangan tersendiri. Kaliber pelatih yang
tahu potensi anak asuhnyalah yang bisa mengantar dan mendorong asuhannya
berprestasi, betapapun di mata banyak orang dinilai sebagai anak
bengal.
Akhirnya, mengagumi potensi murid berarti pula selalu
melihat sisi positif dan potensinya, daripada kekurangannya. Untuk
itulah, jika guru kian memutukan diri, maka guru akan mampu memberikan
tantangan lebih hebat untuk memacu sekaligus mengembangkan kehebatan
murid.
0 komentar